Hari Guru Nasional: Sebuah Refleksi Tahunan yang Belum Selesai
Oleh: Edi Syahputra H, S.Pd
Setiap tahun, tanggal 25 November menjadi momentum bangsa ini merayakan Hari Guru Nasional. Namun bagi guru, perayaan itu sering hanya menjadi penanda waktu—bahwa satu tahun lagi telah berlalu tanpa banyak perubahan berarti. Di tengah meriah ucapan selamat dan rangkaian seremoni, ada pertanyaan yang terus bergema di ruang batin para pendidik: Apakah nasib guru hari ini lebih baik daripada tahun sebelumnya? Pertanyaan itu semakin sah untuk diajukan ketika berbagai problem mendasar di sektor pendidikan tak kunjung terselesaikan.
Guru: Profesi Mulia yang Masih Diletakkan di Pinggir
Secara retorika, guru selalu ditempatkan di podium tertinggi. Disebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, “ujung tombak pendidikan”, dan “penentu masa depan bangsa”. Namun kenyataan di lapangan justru menunjukkan paradoks. Di balik jargon penghormatan, guru masih berkutat dengan problem kesejahteraan, ketidakpastian status kerja, beban administrasi berlebihan, serta kebijakan pendidikan yang berubah tanpa konsistensi arah.
Ketika guru ditanya apa yang mereka harapkan dari Hari Guru Nasional, sebagian besar tidak meminta pesta, panggung, atau karangan bunga. Mereka meminta hal yang jauh lebih mendasar: kepastian, penghargaan, dan keadilan.
Refleksi Pertama: Kesejahteraan yang Tak Kunjung Tuntas
Hari Guru Nasional seharusnya mengajak kita bercermin tentang wajah kesejahteraan guru. Kenyataannya, sebagian besar guru honorer masih menerima pendapatan jauh di bawah standar kelayakan hidup. Banyak dari mereka menjalani profesi ganda—mengajar di sekolah sambil bekerja serabutan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Ironisnya, mereka tetap dituntut untuk profesional, inovatif, dan mampu mengikuti perkembangan teknologi.
Keterlambatan insentif, honor yang tidak merata, dan kebijakan anggaran yang tidak berpihak memperparah situasi. Di beberapa daerah, anggaran pendidikan justru digunakan untuk belanja yang tidak menyasar kebutuhan guru. Negara seakan lupa bahwa pendidikan tidak akan pernah bermutu jika guru tidak dimanusiakan.
Pada titik ini, refleksi lebih kritis perlu dikemukakan: apakah pemerintah benar-benar memandang guru sebagai prioritas, atau hanya sebagai slogan pada hari-hari tertentu?
Refleksi Kedua: Beban Administrasi yang Menyimpang dari Hakikat Mengajar
Profesionalisme guru tidak dimaknai secara benar dalam banyak kebijakan pendidikan. Guru sering diukur bukan dari kualitas pembelajaran, tetapi dari seberapa lengkap administrasinya. RPP super panjang, laporan berlapis, verifikasi di berbagai platform digital, hingga tugas tambahan yang tidak relevan, justru menyita waktu yang seharusnya digunakan untuk berinteraksi dengan siswa.
Tidak sedikit guru yang berkata jujur: “Waktu mengajar saya habis untuk mengurus administrasi.” Jika hal ini terus dibiarkan, kita akan melahirkan generasi pendidikan yang sibuk dengan dokumen, tetapi miskin kreativitas.
Hari Guru Nasional mestinya menjadi alarm keras untuk mengevaluasi kebijakan yang membuat guru terjebak menjadi “juru tulis” alih-alih pendidik sejati. Tanpa perubahan paradigma, akan sulit membayangkan pendidikan Indonesia melompat maju.
Refleksi Ketiga: Pemerataan Mutu Pendidikan Masih Jauh dari Harapan
Berbicara mutu pendidikan tanpa berbicara kesenjangan adalah ilusi. Perbedaan kualitas antara sekolah kota dan desa masih mencolok, baik dari segi fasilitas, tenaga pendidik, maupun dukungan anggaran. Guru-guru di daerah terpencil bekerja jauh lebih keras dengan fasilitas minim, tetapi sering dilupakan dalam percakapan nasional tentang pendidikan.
Padahal, ketika seorang guru di pelosok gagal menjalankan tugasnya karena keterbatasan, negara harus bertanggung jawab. Ketimpangan inilah yang menyebabkan mutu pendidikan nasional sulit bergerak naik secara merata.
Guru dan Tantangan Era Digital: Antara Harapan dan Tekanan
Transformasi digital adalah keniscayaan. Guru dituntut menguasai teknologi, memanfaatkan platform digital, dan memproduksi materi pembelajaran kreatif. Tetapi tuntutan ini tidak boleh berdiri sendiri tanpa dukungan fasilitas dan pelatihan yang memadai.
Tidak adil jika guru dituntut menjadi inovatif, sedangkan akses internet masih buruk, laptop tidak tersedia, pelatihan minim, dan anggaran untuk peningkatan kapasitas sangat terbatas. Pada akhirnya, guru sering menjadi sasaran kritik ketika proses digitalisasi tidak berjalan mulus—padahal mereka bekerja di tengah keterbatasan struktural.
Di sisi lain, perlu diakui bahwa sebagian guru juga perlu membuka diri terhadap perubahan. Tantangan digital tidak bisa dilawan dengan nostalgia masa lalu. Guru tidak boleh berhenti belajar.
Kelas-Mikro: Ruang Kecil yang Menentukan Masa Depan Besar
Meskipun banyak masalah struktural, guru tetap memegang peran yang tak dapat digantikan. Pertemuan tatap muka, perhatian personal, nasihat lembut, dan keteladanan moral adalah aspek pendidikan yang tidak akan pernah tergantikan oleh teknologi secanggih apa pun.
Setiap kelas sebenarnya adalah ruang mikro yang membentuk masa depan besar. Di sana, guru bukan sekadar penyampai materi, tetapi pembentuk karakter, penggerak mimpi, dan penjaga nilai. Justru karena peran besar itulah, negara harus memastikan guru bekerja dalam kondisi yang tidak merugikan martabat profesinya.
Refleksi Terakhir: Apa yang Harus Berubah?
Hari Guru Nasional harus mengarah pada kesimpulan baru: perubahan bukan hanya tugas guru, tetapi tanggung jawab negara dan masyarakat. Guru sudah terlalu lama menanggung beban paling berat, sementara dukungan paling besar justru belum diberikan kepada mereka.
Pemerintah perlu:
menuntaskan persoalan kesejahteraan secara konkret, bukan hanya sebatas wacana,
menyederhanakan beban administrasi secara radikal,
memastikan anggaran pendidikan benar-benar berpihak pada kebutuhan guru,
memberikan pelatihan berkelanjutan yang relevan dan merata,
memperhatikan guru-guru di wilayah 3T secara lebih serius.
Masyarakat juga perlu berhenti menilai guru dari satu-dua kesalahan kecil, sementara mengabaikan pengabdian panjang mereka. Tanpa dukungan budaya sosial yang menghargai pendidikan, guru akan terus bekerja dalam kesunyian.
Penutup
Hari Guru Nasional adalah momen refleksi tahunan—tetapi refleksi tidak boleh berhenti pada kata-kata. Jika bangsa ini ingin maju, maka memuliakan guru harus menjadi kebijakan nyata, bukan sekadar ucapan seremonial. Guru adalah pilar penentu masa depan; tetapi sampai hari ini, pilar itu masih berdiri dalam kondisi yang perlu diperkuat.
Perubahan sejati hanya akan terwujud ketika guru diperlakukan sebagai subjek utama pembangunan pendidikan, bukan sekadar pelengkap sistem.
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
Anggota Pramuka Penegak Gudep SMAN 13 Banda Aceh Laksanakan Pembersihan Pantai Gampong Jawa
Banda Aceh — Sebagai bentuk kepedulian terhadap pelestarian lingkungan pesisir, Anggota Pramuka Gugus Depan (Gudep) SMA Negeri 13 Banda Aceh melaksanakan kegiatan bakti so
Kunjungan Bapak Plt Kepala Dinas Pendidikan Aceh ke SMAN 13 Banda Aceh
Banda Aceh, 06 November 2025 – SMAN 13 Banda Aceh menerima kunjungan kerja Plt. Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Murthalamuddin, S.Pd., M.SP, pada Kamis (06/11). Kehadiran be
Tes Kemampuan Akademik: Untuk Masa Depan Bangsa yang Cemerlang
Oleh: Edi Syahputra H, SPd – Guru SMAN 13 Banda Aceh Pendidikan merupakan fondasi utama bagi kemajuan sebuah bangsa. Kualitas sumber daya manusia yang unggul tidak lahir
Sanggar Pocut Meurah Intan SMA Negeri 13 Banda Aceh Gelar Latihan Tari Ranup dan Peumulia Jamee
Banda Aceh – Ekstrakurikuler Seni Tari SMA Negeri 13 Banda Aceh kembali menggelar latihan rutin pada Rabu, 29 Oktober 2025, di aula sekolah. Kegiatan ini diikuti oleh selu
Anggota Pramuka Penegak SMAN 13 Banda Aceh Latihan Semaphore Bersama
Banda Aceh, 31 Oktober 2025 – Anggota Pramuka Penegak Gugus Depan (Gudep) Pangkalan SMA Negerip 13 Banda Aceh melaksanakan latihan semaphore bersama di halaman sekolah. Ke
Menjelang Hari Guru, Guru Belum Sejahtera
Oleh: Edi Syahputra H, SPd Setiap tahun, tanggal 25 November menjadi momentum perenungan nasional. Hari Guru diperingati dengan meriah: upacara, pidato, hingga penghargaa
Nasehat Guru yang Dulu Diremehkan, Kini Jadi Kompas Hidup
Oleh: Edi Syahputra H SPd Dulu, saat duduk di bangku sekolah, banyak dari kita yang menganggap nasihat guru hanya sebagai pengisi waktu di antara pelajaran. Kalimat seper
Sebelum Bel Berbunyi, Guru Sudah Membunyikan Doanya
Oleh: Edi Syahputra H SPd Sebelum dering bel sekolah memecah pagi, ada sosok yang lebih dulu membangunkan semesta kecil bernama ruang kelas. Dialah guru - yang dalam diam
Mutu Pendidikan Di Hari Sumpah Pemuda Ke - 97
Oleh: Edi Syahputra H SPd Tahun 2025 menandai peringatan Hari Sumpah pemuda ke 97, sebagai momentum reflektif bagi dunia Pendidikan Indonesia. Dalam situasi global yang b
Jangan Lelah Jadi Guru Baik, Meski Dunia Kadang Tak Adil
Oleh : Edi Syahputra H SPd Ketika Ketulusan Diuji Oleh Zaman. Menjadi guru di era sekarang adalah perjalanan panjang yang penuh ujian. Tidak hanya ujian profesional, tet